Oleh: Marsel Koka
Aku dan Jesika adalah teman sejak kecil. Tumbuh dalam lingkungan yang sama karena tempat asal berdekatan. Sahabat sejati dan teman sekolah dan sejak SD hingga perguruan tinggi. Hanya fakultas saja yang tidak sama. Dia sastra, saya hukum.
Kami selalu terbuka satu sama lain. Apa yang saya alami dia tahu. Apa yang dia alami saya tahu. Kami selalu bersama baik dalam suka maupun duka. Yang beda hanya dua yakni dia adalah perempuan sedangkan saya adalah laki-laki. Juga bukan keluarga.
Saat kecil, seperti anak kebanyakan. Kami bermain rumah-rumahan dan segala macamnya. Belum sedikit pun mengenal cinta, rumah tangga dan apalagi pernikahan. Polos dan bodoh dengan hal-hal semacam itu. Hari-hari berjalan seperti biasa.
Seiring lajunya waktu, semuanya berubah. Kami tumbuh dewasa dan berjuang dengan perkuliahan masing-masing. Sedikit lagi wisuda. Jesika yang dulunya tidak begitu cantik, semakin cantik. Posturnya bertamba tinggi dan lebih seksi dari sebelumnya. Putih kulitnya dan panjang rambutnya semakin melengkapi kecantikannya. Bagiku, dia perfek, perempaun sempurna.
Sudah lama, Ia dikagumi banyak pria. Dan saya tahu itu. Namun tak satu pun yang memikat hatinya. Tak tahu kenapa. Barangkali Ia hanya ingin menikmati kesendiriannya. Jadi, untuk urusan cinta dan asmara, dia tak punya pengalaman. Awam sekali. Seperti saya.
Satu waktu, saya merasakan yang berbeda dalam hati. Jujur, saya mulai jatuh cinta pada Jesika. Mengaguminya diam-diam. Pokoknya, saya selalu jatuh cinta berkali-kali ketika melihatnya. Kadang membawanya dalam doa. Dan kalau mau jujur barangkali namanya yang paling banyak aku sebut dan bisik pada Tuhan.
Sejak saat itu, saya lebih rajin berdoa. Minta supaya Tuhan mengabulkan permintaan saya. “Tuhan, jangan biarkan mawarku, layu dan dipetik dari taman hatiku. Sampaikan padanya, jika aku mencintainya”. Doaku.
Namun disaat bersamaan, kadang saya merasa sangat bersalah karena mencintai teman sendiri. Kadang saya merasa sangat berdosa karena ingin memilki sahabat sendiri. Perasaan berbeda-beda itu, menganggu otakku tiap waktu. Tapi mau bagaimana lagi. Namanya cinta. Logika dan akal sehat tak dipakai lagi ketika cinta mulai berkemekaran. Perjumpaan dan kebersamaan kami benar-benar menghasilkan rasa. Sangat menyiksa dan tak bisa direka-reka. Itu yang kualami. Tidak tahu Jesika.
Satu waktu, di statusnya tiba-tiba Jesika menulis begini “aku tidak merencanakan untuk jatuh cinta dan merindukan dirimu, namun semuanya terjadi begitu saja”. Ah yang benar saja Jes. Reaksi saya. Oh ternyata diam-diam, dia juga begitu. Kami mengagumi satu sama lain.
Walau begitu, saya masih belum begitu yakin dengan tulisannya itu. Bisa saja, Ia tulis untuk orang lain. Bisa saja Ia ingin melatih kemampuan sastranya. Biasalah anak-anak sastra. Namun di kesempatan lain dia menulis lagi. Kali ini dia juga membawa nama Tuhan, katanya.
“Biarkan aku mencintaimu dalam diam, memelukmu lewat doa, dan menjagamu lewat tangan Tuhan”.
Cie-cie Jess. Tulisan singkat itu meyakinkan saya. Pokoknya saya percaya kalau Jesika juga mencintaiku. Nah, sekarang tinggal tunggu siapa yang lebih cepat atau siapa yang lebih berani untuk mengungkapkan perasaan masing-masing. Soal tanda-tanda sudah ada. Saya sendiri seratus persen yakin dan mencintainya. Titik. Tidak ada kepalsuan sedikitpun.
*****
Dewi malam bersinar terang. Bintang juga sama. Saya dan Jesika baru selesai doa dalam Gereja. Sekarang di taman. Duduk berdekatan. Tak ada siapa-siapa, hanya kami berdua. Bertiga dengan perasaan yang kami simpan di dalam hati, juga Tuhan yang menenggok dari dalam Gereja. Kesempatan yang baik untuk mengungkapkan semua rasa. Sambil mengenggam tangannya, saya bisik.
Jes, Hadirmu, kuingin waktu berhenti. Pergimu, kuingin waktu berlari. Kita adalah seribu satu puisi yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Itulah sebabnya ketika berada bersamamu, aku selalu bergairah dan kehilangan kata-kata.
Ia mendunduk dan tersenyum kecil. Menatap bintang lalu berkata
Hendra, Cinta yang kupunya sederhana, namun tanpa batas untukmu!
Oh My. Sejak saat itu, kami resmi menjadi sepasang kekasih. Aku bahagia, Jesika bahagia. Hati kami berbunga-bunga karena saling memiliki satu sama lain. Barangkali, kami adalah orang yang paling bahagia dari semua orang di seluruh dunia. Untuk sementara dunia milik kami berdua. Indah benar.
Cinta kami tumbuh seperti kebanyakan pasangan. Namun saya menemukan sebuah perbedaan. Jika pasangan lain merayakan cinta mereka dengan makan bersama di restoran ternama atau pergi ke pantai, menikmati senja atau ke tempat-tempat indah lainnya, kami beda. Kami sering menghabiskan waktu bersama di Gereja untuk doa bersama.
Jesika selalu mengajak saya untuk doa bersama, misa bersama, dan Rosario bersama. Kadang saya yang pimpin doa, kadang Jesika. Kadang doa pribadi, tetapi lebih banyak doa bersama. Katanya, kita tidak boleh main-main dengan Tuhan. Selalu libatkan Tuhan dalam setiap kegiatan. Apa pun bentuknya. Termasuk pacaran. Benar juga.
Jesika juga selalu mengawasi dan mengingatkan saya supaya tidak boleh sembarangan. Harus menjaga kemurnian masing-masing. Bagian ini biar tidak perlu dijelaskan. Intinya masing-masing kami harus tetap utuh sampai tahap terakhir yakni pernikahan.
Sekali lagi waktu pacaran, sepenuhnya kami habiskan di Gereja dan gua maria. Barangkali saya boleh bilang kalau pacaran kami adalah pacaran yang kudus. Namun hal itu justru membuat kami selalu saling percaya dan jarang cecok atau marah-marah. Jarang curiga atau cemburu. Kuncinya jelas, karena ada Tuhan yang menjaga kami. Itu saja.
****
Hari sudah pagi. Tak ada awan di langit. Cerah sekali. Handphoneku tiba-tiba berdering. Jesika memangil. Mengajak saya untuk keluar rumah. Sebentar saja tidak lama. Katanya ada perlu. Kami sepakat untuk ketemu di depan Gereja yang sama.
Tak begitu lama Jesika datang. Tak banyak pembicaran sepanjang jalan. Saya hanya mengikutinya. Sekitar satu jam setengah kami tiba. Bukan di mall, di pantai, atau pun Gereja. Namun di sebuah seminari. Pertama kali untuk saya. Jesika mengunjungi saudaranya yang adalah seorang imam. Untuk konsultasi hubungan kami ke arah yang lebih serius. Katanya harus dengar nasihat dari kaka Pater.
Setelah sekitar dua jam kali di seminari, kami pulang. Sejak pulang dari seminari itu, saya menjadi tidak tenang. Tidak tahu kenapa. Jujur saya suka sekali dengan keadaan di seminari. Orang-orangnya ramah dan ceria pula. Tempatnya juga hening dan teduh. Walau hanya beberapa saat di sana, saya merasa semua beban hilang begitu saja.
Sekitar satu minggu perasaan saya tidak tenang. Perasaan itu seperti pertama kali saya jatuh cinta dengan Jesika. Hati saya selalu minta untuk pergi ke seminari. Makanya tanpa sepengetahuan Jesika, diam-diam saya kunjung ke seminari. Bukan hanya satu kali tetapi banyak kali. Pokoknya saya bahagia walau hanya saat di sana.
Awalnya saya sembuyikan itu dari Jesika namun semakin lama semakin tak bisa kubendung. Makanya berniat untuk mengungkapkan hal itu pada Jesika. Saatnya belum tiba. Saya biarkan perasaan itu berkembang dalam hati.
Kali ini saya mengajaknya keluar. Kemana tempat tujuannya. Saya sembunyikan itu. Jesika akan tahu dengan sendirinya. Ajakan saya diiyakan oleh Jesika. Kami pergi pada pagi yang mulai meninggi. Sama seperti beberapa hari yang lalu. Kami berkunjung ke sebuah biara suster. Kebetulan saudari saya adalah seorang suster. Saya minta nasihat dari kaka suster tentang hubungan kami.
Jesika susah tidur sepanjang malam. Persis setelah pulang dari biara suster itu, hati Jesika tidak tenang. Galau seperti pertama kali jatuh cinta pada saya. Oh no. Dia merasa sangat teduh saat berada di biara suster itu. Suster-susternya ramah dan ceria. Damai dan teduh sekali rasanya. Walau hanya beberapa saat rasa-rasanya segala beban pergi begitu saja. Pokoknya diam-diam, Jesika ke sana tanpa pengetahuanku. Bukan satu kali tapi berkali-kali.
****
Saya boleh katakan kalau Tuhan itu pandai membuat tanda kejut. Kenapa? Karena Dia bisa membuat segala sesuatu menjadi mungkin. Pokoknya kalau Dia sudah jatuh cinta dengan kita, pasti Dia akan cari sampai dapat. Buktinya aku dan Jesika. Cinta yang aku ungkapkan pada Jesika di halaman Gereja saat itu, ternyata membuat-Nya cemburu. Diam-diam, Dia tidak merestui hubungan kami untuk menjadi sepasang kekasih. Tetapi menjadi kekasih hati-Nya.
Saya tidak tahu memberi apa judul cerita ini. Biar bebas saja memberi judulnya. Saya hanya minta satu yakni doa. Doakan kami, saya Pater Hendra dan suster Jesika, agar kami setia dalam panggilan masing-masing hingga kekal. Itu saja.*
N/B: cerita ini hanya imajinasi penulis belaka. Maaf jika ada kesamaan nama dan cerita.
*Penulis: Marsel Koka merupakan salah satu alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero kelahiran Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Kini ia mendedikasikan serta mempersembahkan dirinya sebagai pekerja di ladang Tuhan. Sekarang ia Tinggal di Rogasionist Maumere-Flores, sebuah rumah pembinaan bagi para calon pekerja di ladang Tuhan.