Oleh: Sil Joni*
Tilik, BULIR.ID – Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) mulai memenuhi ‘janjinya’ untuk memfasilitasi upaya peningkatan kualitas Sumber daya manusia (SDM) kepariwisataan di tingkat lokal. Pelbagai seminar, workshop, dan pelatihan yang diinisiasi dan difasilitasi oleh BPOLBF terus digelar hari-hari ini.
Kelompok kategorial yang berpotensi menjadi ‘pemain utama’ dalam industri turisme seperti para sopir, petani, pelaku ekonomi kreatif, pemandu wisata dan lain-lain ‘diarahkan’ untuk mengikuti aktivitas pemberdayaan tersebut. Kendati kita belum mendapat laporan resmi perihal ‘dampak konkret’ dari pelbagai kegiatan tersebut, tetapi kita yakin bahwa BPOLBF sedang ‘menyebarkan’ misi mulia di Mabar saat ini.
Saya berpikir sebaiknya BPOLBF menghabiskan banyak energi, waktu, dan biaya untuk menuntaskan misi peningkatan kualitas SDM lokal ketimbang ‘merampok secara legal’ sumber daya lokal berupa lahan seluas 400 hektar di kawasan hutan Bowosie-Nggorang. Menkonversi kawasan hutan menjadi ‘area wisata buatan’, selain tidak rasional, juga belum urgen untuk konteks Mabar di kekinian.
Kekuatan utama pariwisata Mabar tidak terletak pada ‘wisata ciptaan BPOLBF’, tetapi bertumpu pada pariwisata berbasis alam dan manusia (budaya). Mabar ini sudah terkenal dengan keanekaragaman spot wisata alam dan budaya tersebut. Yang urgen untuk ditangani oleh BPOLBF adalah pemberdayaan SDM kepariwisataan dan penataan akses dan infrastruktur dasar di pelbagai obyek wisata tersebut.
Untuk merealisasikan visi politik pemberdayaan warga lokal tersebut, hemat saya tidak cukup hanya dengan menggelar pelatihan yang bersifat temporal dan aksidental. BPOLBF sebagai ‘tangan kanan’ Presiden mesti membangun semacam ‘balai latihan kerja’ yang program kerjanya bersifat kontinu dan permanen.
Pelatihan sporadis yang dibuat BPOLBF selama ini terkesan sekadar ‘menghabiskan anggaran’. Apalagi pelbagai pelatihan, seminar, dan workshop itu digelar di hotel berbintang yang tentu saja ‘menelan biaya’ yang sangat fantastis. Anggaran yang besar itu belum setimpal dengan ‘progres kerja nyata dari out-put’ yang terlibat dalam pelbagai aktivitas itu.
Jika BPOLBF mempunyai ‘niat mulia’ dalam mengakselerasi kemajuan pembangunan sektor pariwisata di Mabar, maka strategi kuncinya adalah merancang dan melaksanakan program yang bersentuhan langsung dengan sisi kreativitas dan produktivitas warga lokal dalam ‘memanfaatkan’ setiap peluang yang tersaji dalam pasar pariwisata.
Jadi, BOPLBF harus tampil sebagai ‘fasilitator dan inisiator’ program peningkatan mutu SDM lokal dan bukan sebagai ‘kaki tangan investor’ dalam mengeruk aset berharga seperti hutan Bowosie seluas 400 hektar itu.
BPOLBF tidak bisa ‘berkelit’ bahwa atas nama percepatan kemajuan pembangunan, maka lahan 400 hektar itu harus dikelola seturut logika bisnis. Pengkultusan terhadap ‘paradigma investasi’ berpotensi mengeksklusi eksistensi warga lokal dan cenderung melayani kepentingan segelintir pemilik modal dan negara yang menjadi ‘mitra mereka’.
Pertanyaannya adalah apakah BPOLBF itu sebuah ‘perusahaan pariwisata milik negara’? Apakah keberadaannya di setiap destinasi super prioritas dimaksudkan untuk mewujudkan naluri bisnis dari negara dan mitra mereka? BPOLBF itu sebenarnya hadir untuk melayani kepentingan siapa? Apakah pariwisata di Mabar akan ‘hancur’ jika kawasan hutan Bowosie-Nggorang ‘tidak dijadikan area eksperimentasi naluri bisnis dari orang kuat di Jakarta’?
BOPLBF bakal disanjung-sanjung sebagai ‘mesias pariwisata Mabar’ jika dan hanya jika mereka konsisten dalam membantu warga lokal untuk mengasah potensi kreatif dan inovatif dalam berkompetisi di arena industri wisata. Sebaliknya, lembaga ini akan menjadi ‘musuh besar’ yang harus ‘disalibkan’ ketika mereka hadir untuk membentangkan karpet merah bagi kaum kapitalis untuk mengeksploitasi setia sumber daya strategis termasuk kawasan hutan Bowosie 400 hektar itu.
*Sil Joni adalah pemerhati masalah sosial dan politik. Saat ini Ia tinggal di Labuan Bajo.
Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, tidak mewakili pandangan redaksi Bulir.id.