Memahami Konsep Tabula Rasa Filsuf Inggris John Locke

0

FILSAFAT, Bulir.id – Apakah orang dilahirkan dengan pikiran kosong sehingga pengalaman mengisinya seperti selembar kertas kosong? Atau apakah mereka datang ke dunia dengan pengetahuan yang sudah ada di kepala mereka? Seorang pemikir berpengaruh dari era Pencerahan, John Locke, meyakini hal tersebut.

Gagasan radikal John Locke tentang Tabula Rasa , atau “lembaran kertas kosong”, menyatakan bahwa pikiran kita berawal dari wadah kosong dan dibentuk oleh pengalaman serta apa yang kita pelajari darinya. Gagasan ini tidak hanya menantang keyakinan yang berlaku pada saat itu, tetapi juga menjadi landasan bagi psikologi dan pendidikan modern.

Tabula Rasa berarti “lembaran atau kertas kosong” dalam bahasa Latin. John Locke mencetuskan istilah ini pada tahun 1600-an. Ia ingin menantang gagasan lama bahwa orang mengetahui sesuatu saat mereka lahir.

Locke percaya bahwa otak manusia tidak terisi penuh dengan informasi. Ia mengatakan bahwa otak manusia seperti lembaran kertas kosong. Seiring kita menjalani hidup, pengalaman kita, hal-hal yang kita lihat, dengar, cium, cicipi, dan sentuh, tertulis di dalamnya.

Namun, Locke bukanlah orang pertama yang berpikir seperti ini. Aristoteles, filsuf Yunani kuno, telah menyatakan hal serupa bertahun-tahun sebelumnya. Dalam salah satu bukunya, De Anima , Aristoteles menyebut pikiran sebagai “lempengan tak tertulis”. Dengan ini, ia memaksudkan bahwa semua pengetahuan kita berasal dari apa yang terjadi pada kita seiring pertumbuhan kita.

Hal ini sangat berbeda dengan keyakinan gurunya sendiri, Plato. Plato berpendapat bahwa ketika seseorang lahir, pikiran mereka sudah mengandung pengetahuan bahkan sebelum mereka hidup. Hal ini karena jiwa mereka telah menjalani banyak kehidupan sebelumnya.

Selain itu, gagasan tentang pikiran yang kosong awalnya berasal dari para cendekiawan Islam abad pertengahan, seperti Ibnu Sina. Para pemikir ini mempelajari arti memiliki jiwa dan memperdebatkan apakah kita dilahirkan dengan pengetahuan tentang hal-hal tertentu.

Locke mengembangkan karya mereka untuk menciptakan Tabula Rasa sambil menulis tentang bagaimana manusia memahami dunia selama periode penting yang disebut Pencerahan. Pemikirannya terus menarik perhatian selama berabad-abad, membuat kita berpikir ulang tentang bagaimana kita belajar di sekolah atau di mana pun.

Teori Akuisisi Pengetahuan

John Locke adalah seorang empiris pertama yang mengubah persepsi kita tentang pemikiran manusia dengan berargumen bahwa semua itu berasal dari apa yang kita alami. Ia percaya ketika kita lahir, pikiran kita seperti lembaran kertas kosong. Segala sesuatu yang kita pelajari berasal dari hal-hal yang kita lihat, dengar, cium, sentuh, atau rasakan.

Cara pandang terhadap pengetahuan ini disebut empirisme, berarti indra kita memungkinkan kita memahami dunia di sekitar kita. Namun, bagi Locke, yang penting bukan hanya apa yang masuk ke dalam pikiran kita melalui indra. Melainkan bagaimana kita kemudian merefleksikannya.

Ia mengatakan ada dua cara utama refleksi ini terjadi: melalui sensasi dan refleksi. Sensasi adalah ketika kita mengalaminya secara langsung, seperti merasakan hangatnya api atau mendengarkan musik. Refleksi dalam konteks ini bukan berarti bercermin. Refleksi lebih jauh. Misalnya, mengapa saya merasa senang ketika matahari bersinar hangat di wajah saya?

Locke tidak setuju dengan innatisme, sebuah gagasan yang didukung oleh para pemikir seperti Descartes. Para penganut innatisme percaya bahwa beberapa gagasan misalnya, gagasan tentang Tuhan atau matematika tertanam dalam diri kita sejak lahir. Locke menganggap ini omong kosong. Ia mengatakan bahwa bahkan gagasan yang rumit pun terbentuk dari hal-hal sederhana yang kita lihat dan pikirkan.

Misalnya, mari kita ambil konsep “keindahan”. Konsep ini bukanlah sesuatu yang kita ketahui sejak lahir. Sebaliknya, konsep ini terbentuk oleh pikiran kita ketika kita merenungkan warna, bentuk, dan sebagainya yang harmonis.

Perdebatan mengenai apakah ide-ide kompleks berkembang dari pengalaman (empirisme) atau sudah ada sejak lahir (innatisme) masih berkecamuk hingga saat ini. Dampaknya dapat dilihat dari metode pengajaran yang berbeda di sekolah atau cara kita memahami proses tumbuh kembang.

Implikasi bagi Sifat Manusia

Teori Tabula Rasa Locke memiliki konsekuensi mendalam terhadap cara kita memahami hakikat manusia terutama dalam hal mengembangkan moral dan etika kita. Jika pikiran memang merupakan lembaran kosong sejak lahir, maka dapat disimpulkan bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang kita miliki sejak lahir. Moralitas harus dibentuk oleh pengalaman kita.

Bagi Locke, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah anak-anak dapat dikatakan baik atau jahat dalam dirinya sendiri. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa mereka memperoleh nilai-nilai, ajaran, dan perilaku ini dari lingkungan mereka.

Misalnya, apakah seorang anak belajar tentang keadilan dari rasa keadilan yang sudah tertanam dalam dirinya? Tidak, rasa keadilan itu berkembang seiring pertumbuhannya dengan mengamati orang-orang di sekitarnya begitu pula dengan empati.

Gagasan-gagasan semacam itu memiliki implikasi langsung terhadap pendidikan dan sosialisasi jika pikiran seseorang berawal seperti papan tulis kosong. Hal ini menunjukkan bahwa hal-hal ini dapat membentuk seseorang menjadi dirinya sendiri (dari “dididik” menjadi kebaikan atau kecerdasan), yang memiliki implikasi besar terkait pendidikan dan sebagainya.

Di sisi lain, lingkungan yang merusak dapat menghasilkan karakteristik yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, Locke menekankan betapa pentingnya masyarakat dalam membentuk keyakinan dan karakter seseorang sebuah pandangan yang merupakan inti dari salah satu perdebatan intelektual tertua sepanjang masa: nature versus nurture.

Di sini, Locke benar-benar berada dalam pola asuh. Ia percaya bahwa apa yang membentuk kita bukan semata-mata berasal dari gen kita, melainkan dari pengalaman kita di lingkungan tempat kita dilahirkan dan hal-hal seperti pendidikan yang kita terima selama proses tersebut.

Kritik terhadap Tabula Rasa

Para kritikus terutama kaum rasionalis dan nativis telah mengajukan keberatan penting terhadap teori Tabula Rasa Locke. Mereka berpendapat bahwa beberapa pengetahuan haruslah bawaan, bukan dipelajari.

Di antara mereka terdapat filsuf seperti Rene Descartes. Mereka percaya bahwa pikiran manusia mengandung informasi bawaan tentang matematika, logika, dan moral yang tidak berasal dari pengalaman.

Kebenaran universal seperti “2 + 2 = 4” termasuk dalam kategori ini: fakta-fakta ini merupakan bagian dari diri kita. Kita tidak perlu diajari tentangnya. Pernyataan Locke bahwa segala sesuatu yang kita ketahui berasal dari indra kita perlu dipertimbangkan kembali jika memang benar.

Dalam beberapa tahun terakhir, komplikasi lebih lanjut muncul dari penelitian di bidang ilmu saraf dan psikologi. Meskipun tampak jelas bahwa sebagian besar pengetahuan kita berasal dari pengalaman, tampaknya juga ada beberapa hal (kemampuan kognitif) yang kita miliki sejak lahir atau yang berkembang sangat dini.

Penelitian tentang cara berpikir bayi menunjukkan bahwa bahkan anak-anak terkecil pun memiliki pemahaman dasar tentang moral, angka, dan fisika, gagasan yang seringkali dianggap di luar pemahaman mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu kita pelajari: hal-hal tersebut datang secara alami kepada kita.

Namun, Locke punya jawaban yang bagus untuk pertanyaan semacam ini. Ia mengatakan bahwa apa yang tampak seperti bawaan lahir bisa jadi juga disebabkan oleh pengalaman yang tidak dapat Anda ingat sebelumnya.

Meskipun pikiran kita awalnya kosong saat lahir, kondisi itu tidak bertahan lama. Begitu pikiran mulai menyerap informasi melalui indra seperti penglihatan atau sentuhan (yang memungkinkan kita melihat atau merasakan sesuatu), pikiran baru dapat terbentuk berdasarkan masukan tersebut saja atau berdasarkan pikiran yang sudah ada.

Tabula Rasa dalam Pemikiran Modern

Teori Tabula Rasa John Locke memiliki pengaruh yang mendalam terhadap pemikiran Pencerahan, dengan para pemikir seperti Jean-Jacques Rousseau dan David Hume mengikuti jejaknya. Mereka mengadopsi gagasan Locke tentang pentingnya pengalaman, pendidikan, dan lingkungan dalam perkembangan manusia.

Misalnya, Rousseau berpendapat dalam Emile bahwa anak-anak harus dididik dengan cara yang memungkinkan kebaikan alami mereka berkembang, sebuah konsep yang mencerminkan keyakinan Locke pada kekuatan transformatif pendidikan.

Tabula Rasa juga terus membentuk praktik pendidikan hingga saat ini. Gagasan bahwa pikiran kita dibentuk oleh pengalaman didukung oleh berbagai hal, mulai dari penekanan sekolah Montessori pada pembelajaran langsung hingga gagasan yang lebih luas seperti pendidikan “eksperiensial” itu sendiri (yang berarti belajar melalui praktik).

Sementara itu, dalam psikologi dan ilmu saraf khususnya, teori Lockean masih memicu diskusi berkelanjutan seputar topik seperti nature versus nurture.

Meskipun ilmu saraf kontemporer mengakui faktor genetik, ilmu ini juga menekankan pentingnya pengalaman dalam membentuk otak. Gagasan neuroplastisitas, bagaimana otak menyesuaikan diri berdasarkan pengalaman, mencerminkan gagasan Locke tentang fleksibilitas pikiran, menjaga pemikirannya tetap relevan dengan temuan-temuan ilmiah baru.

Apakah Kita Benar-Benar Kosong?

Benarkah John Locke mengatakan kita dilahirkan tanpa pengetahuan dan semua yang kita pelajari berasal dari pengalaman? Atau apakah kebenarannya lebih rumit?

Saat ini, sains menunjukkan bahwa pendapat Locke mungkin tidak sepenuhnya benar, meskipun penelitian terbaru di bidang genetika dan ilmu otak menunjukkan bahwa kita tidak lahir dalam keadaan kosong. Ternyata bayi sudah mengetahui beberapa hal.

Namun, bukan berarti filsuf abad ke-17 itu sepenuhnya salah. Untuk memahami bagaimana manusia berkembang, kita perlu melihat apa yang mereka miliki sejak lahir dan bagaimana kecenderungan biologis ini berinteraksi dengan pengalaman hidup selanjutnya.

Meskipun predisposisi genetik dapat memberi kita fondasi dasar bagaikan cetak biru, pengalaman kitalah yang membentuk jati diri kita. Seorang bayi mungkin memiliki bakat alami dalam bermusik, tetapi jika ia tidak pernah mendengarnya atau tidak berlatih, potensi itu mungkin akan terpendam.

Jadi, apakah ini berarti kita semua seperti kertas kosong? Kebenarannya terletak di antara keduanya. Kita tidak sepenuhnya diprogram oleh genetika atau sepenuhnya lunak. Sebaliknya, perkembangan manusia adalah negosiasi berkelanjutan antara nature (gen) dan nurture (pengalaman).

Tabula Rasa terus menjadi metafora yang kuat, mengingatkan kita bahwa meskipun awal mula kita bukanlah wadah yang kosong (batu tulis kosong), apa yang terjadi pada kita sungguh membantu membentuk kisah hidup kita secara luar biasa.*