OPINI, BULIR.ID – Pandemi Covid-19 sudah genap setahun berlalu mewabahi dan memporakporandakan semua lini kehidupan. Hal ini menimbulkan kecemasan pada manusia di seantero jagad.
Covid-19 telah mengorbankan banyak hal termasuk mengorbankan relasi persahabatan, pacaran, pertunangan sampai pada pernikahan. Sebagian orang memanfaatkan momen pandemi ini menyangkal relasi persahabatan, pertunangan dan pernikahannya sehingga tidak jarang terjadi perselingkuhan sampai pada perceraian. Relasi ini tak ubahnya menjadi seperti neraka bagi yang lain.
Social distancing pasca Covid 19 telah memaksa orang untuk menempatkan diri dalam kesendirian. Menolak kehadiran yang lain atau alteritas dengan alasan kesehatan (rasional) bukan alasan penidakan atau penolakan dalam logika berpikir Sartrian.
Penolakan ini masih dalam artian positif dan hanya bersifat sementara waktu dalam waktu yang tidak ditentukan. Realitas ini telah menimbulkan ketidakpastian dan banyak memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial.
Manusia pun dipaksa untuk bangun dari tidur ketidakpastiannya untuk bertanya sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Bagaimana dengan relasi antar manusia apakah tetap mempertahankan relasi interpersonal dengan tatapan wajah langsung dengan mengorbankan kesehatan ataukah memilih berdiam di rumah dan mengabaikan tatapan wajah alteritas sehingga yang terjadi manusia menjadi anti sosial.
Benih Kecemasan
Covid benar-benar menebarkan benih kecemasan dan telah menggerus susana hati. Cemas kapan saya bertemu dengan sahabat, sang pacar, cemas kapan bertemu dengan suami, istri dan keluarga dekat.
Rasa cemas timbul dari totalitas disposisi dasariah kita yang berada di dalam dunia. Rasa cemas terjadi karena pandemi ini mengerikan dan membuat manusia tidak nyaman. Sebagian besar manusia pun ingin lari dari kecemasannya dengan masuk pada pintu iman.
Sejatinya manusia otentik tidak lari dari kecemasannya ke dalam iman, karena bermukim dalam kecemasan adalah akses ke dalam ada-nya. Kecemasan merupakan tanda momen otentik, tetapi suasana hati ini tidak nyaman, maka orang cenderung lari darinya.
Manusia berada di dunia menjadi otentik jika membuka diri terhadap ada-nya dengan mencandra kesehariannya secara mendalam termasuk juga kecemasan terhadap covid 19 yang telah menghalangi semua kebebasan manusia.
Pelarian manusia menimbulkan berbagai macam hal termasuk juga maraknya terjadi perselingkuhan, perceraian akibat penyangkalan terhadap sebuah janji. Kita mesti mengambil keputusan penting dalam hidup misalnya hendak menikah. Manusia yang menganggap pernikahan hanya sebagai gaya hidup tentu akan tidak sampai pada moment otentik. Tetapi mereka yang dalam kebebasannya ingin memutuskan hal itu akan merasa cemas.
Mengolah Kecemasan
Menurut Heidegger salah satu filsuf eksistensialis Jerman sekaligus penulis kitab suci Sein und Zeit, kecemasan merupakan tanda kebebasan. Hidup dengan pasangan seumur hidup bukanlah keputusan sehari-hari, melainkan keputusan mendasar dengan sikap eksistensial, suatu pergumulan dengan ada-nya. Kecemasan membuat manusia tidak nyaman, maka manusia cenderung lari darinya dan larut dalam kesibukan praktis.
Seseorang akan lari dari kecemasannya dan mendengarkan kata-kata temannya, “ah tidak usah terlalu dipikirkan. Dia tidak cocok dengan anda, cari yang lain atau ceraikan saja.” Sahabat-sahabatnya menariknya ke tempat-tempat hiburan atau mengajaknya menggunakan obat-obatan terlarang untuk berceloteh dan melupakan masalahnya.
Obrolan semacam ini telah mengaburkan otentisitas dirinya dan membuat manusia tidak lagi eksistensial sebab dia tidak bertanya akan ada-nya sendiri melainkan lari dari dirinya sendiri dan mengikuti arus jalanan. Obrolan akan suasana hati keseharian manusia membuatnya lupa akan kecemasannya dan menjadi tidak otentik dengan dirinya sendiri karena dia larut dalam keseharian. Hal tersebut menurut Heidegger, ini merupakan kejatuahan sekaligus kemunduruan.
Manusia yang otentik tidak berada di luar kesehariannya melainkan berada di dalamnya tetapi tidak ikut arus melainkan melawannya. Arus itu merupakan cara berada dalam kesehariannya manusia dan perlawanan merupakan kecemasan eksistensial. Suatu pergumulan dengan ada-nya. Kesadaran inilah yang mencemaskan, karena ia tahu bahwa ia tak tahu dari mana dan kemana, tetapi toh harus bergerak maju ke suatu arah.
Manusia meskipun hidup dalam kecemasan mesti tidak melupakan otentisitas dirinya. Dia mesti memaknai kecemasan dan tidak lari dariya. Bagi pasangan yang ingin bertunangan dan ingin menikah pada situasi pandemi ini boleh untuk cemas namun tidak boleh lari pada hal-hal yang tidak otentik, misal pelarian pada tempat-tempat hiburan, obat-obatan terlarang dll. Di dalam kecemasan itu mestinya dia merenungkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial dalam dirinya sehingga tidak terjebak pada gaya hidup yang menyebabkan dia menjadi tidak otentik.
Setiap orang memiliki kecemasan namun kecemasan itu mesti diolah dengan baik sehingga dapat mengarahkan dirinya untuk mengungkapkan dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari kita. Menjernihkan keseharian, sehingga dasar-dasarnya menjadi tampak di dalam kesadaran. Berkat kecemasan, dasar-dasar keseharian kita menjadi transparan sekaligus memberikan tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensi.*
Salam Redaksi
Djanuar Lj