TAPI KAU TETAP REMBULAN
(Narasi Puitik Alfrida Hanu)
***
kenapa judulnya tapi kau tetap rembulan
kok tidak spesifik berdasarkan muatannya
kenapa sekian tetes airmata sejak kau pergi tanpa arah kembali
hanya bisa terangkum dalam sebait puisi
dengan judul hanya itu: tapi kau tetap rembulan
karena memang itulah ada-mu dan cara-berada-mu selama di dunia
berpuluh-puluh tahun sudah aku berkelana
keluar masuk ruang, waktu dan cakrawala
menumpuk angka, jumlah, nama dan kuasa
menggelorakan hawa panas untuk otot-ototan
tapi kau tetap rembulan ketika menghentak:
hei, apa sih yang kau cari, bodok?
aku tersipu malu dan pulang terhuyung-huyung bagai singa jantan ompong
aku meratap tangis dan mengumpat-umpat ketika dirundung nestapa
menunjuk-nunjuk kambing yang harus berwarna hitam
tapi kau tetap rembulan ketika daler dan tangismu terjadi simultan dan seketika
dalam rasa dan kesadaran bahwa kau tak berjarak dengan Mori Keraeng-mu
bahwa hidup ini hanya berjalan dan tak lebih dari hanya setetes debu
bahwa hidup ini setinggi-tingginya adalah sebuah sendagurau
aku marah besar
sebulan tak kontak-kontak haha hihi sebagaimana biasanya
daler dan cekikikanmu ke mana
serasa kilat menggelegar tanpa mendatangkan hujan lebat
sukma terguncang oleh kedigdayaan semesta
tapi kau tetap rembulan: kau tanggung beban Mori Keraeng-mu; kau tak ikut-ikutan mencari-cari kambing yang berwarna hitam, entah di Cililitan, Dongang, Lembor, Lawir atau Karot, Puni; kau melihat senyum Mori Keraeng-mu dalam napas sesak hak-hik-huk menjemput saudaramu sang kematian; kau tak ingin kadar derita sakit dan takaran jenis kesengsaraanmu, khalayak ramai dan kami-kami mengetahui atau turut menghayatinya; kau bahagia di dalam anugerah kemuliaan yang diterimamu dalam rahasia
kini kau tak tampak mata
dalam kubur menjadi humus demi menjadi kesuburan untuk kehidupan
tapi kau tetap rembulan
cayahamu memelekkan mataku yang buta
bahwa suka duka silih berganti hanyalah senyum Allah sejatinya
bahwa jangan menagih siapapun untuk mencintaimu
tapi tagihlah dirimu untuk mencintai siapa saja
sejauh-jauh langkahmu terayun
kini hanya bisa kutulis sebait puisi untukmu; supaya ada bahan bagimu untuk menilai aku; tapi dasar kau tetap rembulan; begini jawabmu: ini bukanlah puisi; puisi tidaklah begini; dari uratan cahaya sinarmu, berbisik: /ini puisimu, bukan puisiku/ ini bagimu, bukan bagiku/ ini untukmu sendiri/ muatannya tersembunyi/ energi jiwa merawat keabadian cinta/ seperti di tempatku berada yang adalah hahahahaha yang kekal/
jadi pasti sebait puisi ini bukan untukmu? maaf, maaf! mudah-mudahan maafku sampai kepadamu; tapi kau tetap rembulan ketika mengutip Jack Ma: “ketika kamu miskin, semua kata-kata bijakmu hanya didengar seperti kentut; tapi ketika kamu kaya dan sukses, kentutmu terdengar sangat bijak dan menginspirasi”
tangisku mengucur sejadi-jadinya campur bingung
ah, jangan begitu
jadilah rembulan, sayangku
katamu sayup-sayup
sinarmu tak pernah redup, wahai rembulan
aku akan mereguknya hingga langkahku mendarat di alas tiba
hingga saudara kematian datang tanpa diundang
entah siang, senja, malam, entah gerhana, entah matahari benderang, entah kelabu berkelabat
entah ketika menjadi bukan apa-apa, bukan siapa-siapa dan tidak dianggap oleh siapa-siapa
NB:
* daler (kata Manggarai) = ngakak sejadi-jadinya
* Mori Keraeng (kata Manggarai ) = Tuhan Allah
* bodok = bodoh
*
(tmn aries:jkt: kamis malam:5/8/21: RIP Alfrida Hanu di RS Ben Mboi Ruteng)
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.