Spiritual, Bulir.id – Beberapa tahun yang silam, saya dikenalkan sebuah Novel karya Pramudia Ananta Toer dengan judul yang mungkin sedikit vulgar, Prawan Dalam Cengkeraman Militer. Buku ini kemudian saya pilih untuk digagahi ide-idenya.
Kebetulan beberapa minggu yang lalu secara tidak sengaja saya menemukan soft file di sebuah aplikasi buku online.
Timbul di benak untuk kembali menggagahinya dan menelanjangi helai demi helai sehingga dapat menemukan kembali klimaks intelektual yang telah lama pudar.
Pramudia mengemas novel, Perawan Dalam Cengkeraman Militer dengan latar Perang Dunia II. Novel ini merekam jejak kekejaman tentara Jepang di Indonesia yang menjadikan remaja perempuan Indonesia sebagai budak seks (jugun ianfu).
Novel tersebut kurang lebih semacam catatan sejarah yang digali oleh Pramudia secara langsung terhadap para budak seks yang ditinggalkan begitu saja di Pulau Buru setelah Jepang menyerah pada 1945.
Perang yang berkecamuk mengakibatkan sulitnya hubungan laut dan udara. Hal ini berdampak pada terhambatnya pasokan wanita penghibur dari Jepang, China dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirim ke garis terdepan sebagai penghibur.
Muslihat pun mulai dilakukan oleh Dai Nippon untuk menuntaskan pemenuhan naluri seksual pasukannya. Pemerintah Dai Nippon memberikan janji mencerdaskan generasi muda Indonesia untuk belajar ke Tokyo dan Shonanto.
Janji itu hanya sebuah kedok Jepang untuk mengeksploitasi ketubuhan manusia Indonesia terutama ketubuhan gadis-gadis belia dengan iming-iming mengirim mereka untuk belajar.
Janji pendidikan ini dalam rangka mempersiapkan rakyat Indonesia ke arah kemerdekaan sesuai dengan kehendak Nippon. Dengan demikian generasi muda mesti dididik untuk bisa mengabdikan diri dalam kemerdekaan. Janji ini disampaikan langsung dari Divisi Propaganda kepada para pemangku kepentingan di seluruh wilayah Nusantara.
Intrik jahat Dai Nippon tersebut tidak dicantumkan dalam Osamu Serei (Lembaran Negara). Hal tersebut merupakan kesengajaan Pemerintah Pendudukan Dai Nippon untuk menghilangkan jejak. Sehingga terbebas dari tuduhan melakukan kejahatan perang.
Pada novel tersebut Pram menggambarkan para perempuan itu diambil dari keluarganya di berbagai daerah untuk melanjutkan studi. Namun siapa sangka mereka di kirim ke wilayah-wilayah yang diduduki Jepang dijadikan budak seks.
Mereka adalah perawan remaja yang usianya berkisaran 14-19 tahun dengan jumlah hampir 200.000 di seluruh Asia yang sempat di duduki oleh Jepang, termasuk Indonesia.
Selepas menyerahnya Jepang, mereka dilepas begitu saja, diterlantarkan dan tidak bisa pulang. Bahkan ada yang sungkan pulang karena mengalami tekanan psikologis dan ada pula karena alasan untuk tidak menjadi aib bagi keluarga.
Ironisnya hingga kini pemerintah Jepang tetap menolak untuk bertanggung jawab secara hukum. Alasannya para korban ialah jugun ianfu (perempuan penghibur) yang bekerja secara sukarela, bukan sebagai budak seks.
Pram juga berhasil melukiskan keaslian alam Pulau Buru dengan jelas dan lengkap dengan landscape budaya serta peradaban masyarakat aslinya.
Ada pula keterlibatan kawan-kawan Pram menerjang belantara untuk menemukan jejak-jejak perawan penghibur tentara Jepang yang ditinggal pergi di pedalaman Pulau Buru.
Beberapa korban yang masih bertahan hidup, banyak yang memberikan kesaksian langsung kepada penulis dan kawna-kawannya meski dengan terpaksa dan secara sembunyi-sembunyi.
Budaya patriakal yang ketat sehingga tidak memberi ruang kepada korban jugun ianfu untuk dimintai keterangan Pram dan kawan-kawannya.
Suami para mantan korban jugun ianfu tersebut tidak suka jika istrinya berinteraksi dengan orang asing. Meski demikian sebagian masih bisa dapat diwawancarai. Mereka merasa terpaksa bercerita karena merasa malu saat diminta mengingat masa lalunya yang kelam.
Yang lebih menarik Novel ini menguak fakta, yakni pencarian Ibu Mulyati dari Klaten yang terdampar di Pulau Buru. Perjalanan melelahkan selama dua puluh jam yang sarat dengan peristiwa silih berganti akhirnya menemukan hasil juga, meskipun pertemuan itu tidak memberikan solusi atas derita yang dialami Ibu Mulyati dari perawan remaja sampai akhir hidupnya.
Para korban ada yang sudah berkeluarga, jika tidak ingin dikatakan ‘terpaksa’ menikah dengan suku asli pulau tersebut. Namun ini hanya sebagian kecil saja, karena para korban lainnya, banyak yang tidak terdeteksi jejaknya.
Catatan Kritis:
Praktik eksploitasi ketubuahan sudah berlangsung ribuan tahu silam. Perempuan menjadi objek utama dalam praktek eksploitasi ketubuhan itu. Mereka menjadi manusia yang termarginalkah akibat cara pandang budaya, adat istiadat dan bahkan sistem.
Meminjam bahasanya Martin Buber seorang filsuf keturunan Yahudi, relasi eksploitatif ketubuhan dalam novel Prawan dalam Cengkraman Militer itu tidak lebih dengan relasi I-It atau aku dan benda.
Seringkali kita memperlakukan yang lain atau the other sebagai benda bukan sebagai relasi relasional sesama manusia. Jika relasi disasarkan hanya sebagai aku dan benda maka akan jatuh pada perlakuan eksploitatif terhadap the other. Hal ini yang terjadi pada para gadis remaja sebagai jugun ianfu, yang dikisahkan oleh Pram.
Jika manusia memiliki kebiasaan mengatur benda dan menguasai benda pada saat berelasi dengan benda, relasi tersebut tidak bisa dipakai ketika berelasi dengan sesama manusia. Bagi Buber, relasi manusia dengan manusia selalu ‘mutual’ atau timbal balik.
Manusia sejatinya bertanggung jawab atas kemanusiaan diri sendiri dan yang lain atau the other. Tanggung jawab dalam perspektif Buber adalah Aku bertanggung jawab atas Engkau sebagai manusia ketika wajahmu tampil di hadapanku. Aku memberikan perhatian yang penuh karena penampakan wajah terhadapku mengundang peristiwa untuk peduli atau memberi perhatian kepada Engkau yang ada di hadapanku.
Senada dengan Martin Buber, Pram merasa bertanggung jawab atas kemanusiaan yang lain. Tanggung jawabnya ini dia tuangkan dalam Novel Perawan dalam Cengkraman Militer. Novel ini merupakan kritik tajamnya terhadap praktik jugun ianfu atau wanita penghibur pemerintah Dai Nipon pada zaman Perang Dunia II.
Pada sisi yang lain penggalian informasi secara sukarela di tempat pembuangan Pulau Buru juga merupakan kritik terhadap pemerintah Indonesia. Kritik ini berupaya untuk mendorong pemerintah Indonesia agar menyeret kejahatan Dai Nipon ke Pengadilan Internasional.
Pram mengharapkan perhatian dari pemerintah, supaya merespons kegalauan eksiatensialnya dalam menjawab kebutuhan “the other” atau yang lain. Menuntaskan peristiwa ini agar pelaku dapat diadili sebagaimana mestinya. Dan para korban dipulihkan secara moral dan psikis.*
*Resensi: Djanuard Lj
Judul: Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
Penulis: Pramoedya Ananta Toer