Paradoks Pawang Hujan: Dari Mitos Menuju Logos

0

UTAMA, Bulir.id – Manusia pada prinsipnya merupakan makhluk yang berbudaya. Ia lahir dan dipengaruhi oleh budaya tertentu yang melingkupinya.

Namun tidak jarang, banyak yang menyangkal eksistensinya sebagai makhluk berbudaya. Ada banyak alasan penolakan tersebut.

Penyangkalan tersebut sering kali diikuti dengan kritik dan bulian. Seperti halnya yang dialami oleh Rara Wulandari, yang dipercaya sebagai pawang hujan, pada gelaran balap Motor GP Mandalika.

Kritik dan bulian itu menunjukkan bahwa kita lupa ritual pawang hujan juga merupakan hasil dari kreativitas manusia yang berbudaya.

Pawang hujan juga lahir dari refleksi mendalam manusia atas keterbatasan manusia. Olehnya ia meminta kepada yang tak terbatas sebagai penguasa tertinggi alam semesta.

Bagi saya ini merupakan hal yang menarik sebab hidup di zaman yang super canggih, praktik semacam itu masih dihidupi oleh masyarakat yang memiliki keyakinan atas kekuatan lain di luar dirinya (transendental).

Sayang praktik ini bagi sebagian orang dilihat sebagai lelucon. Pertanyaannya, benarkan ini adalah lelucon? Bukankah kita beragama juga bagian dari lelucon?

Pengalaman Transendental
Manusia merupakan makhluk yang terbatas. Keterbatasan inilah, memungkinkan manusia untuk mencari sesuatu di luar dirinya.

Pencaharian inilah melahirkan suatu kepercayaan bahwa di luar dirinya bahwa ada yang jauh lebih berkuasa dari manusia. Ia yang melampau segala sesuatu termasuk manusia.

Kisah semacam di atas juga bisa kita temukan dalam literatur Yunani Kono, misalnya Hermes yang merupakan penyambung lidah antara manusia dan para dewa. Atau kisah para nabi yang merupakan penyambung lidah antara manusia dengan yang tak terbatas.

Baik Hermes dan para nabi berperan sama seperti Rara Wulandari. Mereka hanya berperan sebagai penyampai pesan kepada sang tertinggi yang berkuasa atas alam semesta. Namun tidak semua pesan yang disampaikan tersebut lantas langsung diterima oleh yang tak terbatas itu.

Pengabulan atas permohonan manusia bukan otoritas dari Hermes, Para Nabi maupun Rara. Semuanya itu adalah hak prerogatif dari yang tak terbatas itu.

Sebagaimana Rara yang dipercaya sebagai pawang hujan tidak memiliki hak sedikit pun untuk menghentikan hujah. Ia hanya mampu memohon kepada yang tak terbatas untuk mengabulkan permohonannya.

Kita mesti memahami bahwa, Pawang Hujan bukan pengendali atas hujan. Kegagalan dan keberhasilan itu tergantung pada kehendak yang tak terbatas.

Ritual yang dilakukan oleh Rara merupakan wujud kerendahan hati bahwa dirinya tidak lebih berkuasa dari yang tak terbatas. Olehnya ia melakukan ritual sebagaimana yang diyakininya.

Sejatinya kita tidak memiliki hak apa pun untuk menghakiminya, jika ia gagal dalam mengendalikan hujan. Sebab logikanya adalah bukan Rara sebagai pengendali hujan, melainkan yang tak terbatas itulah yang memiliki kekuatan sebagai pengendali.

Pengalaman transendesi setiap orang berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksakan pengalaman yang sama kepada orang lain. Kita tidak memiliki hak untuk mencabut pengalaman transendesi tersebut dari orang lain yang berbeda dengan kita.

Sama hal yang juga dalam praktik agama-agama, Yahudi, Kristen dan Islam. Apakah semua doa dan permohonan kita lantas langsung dikabulkan? Hal yang sama juga dalam praktik pengendalian hujan dalam GP Mandalika.

Intervensi atas Alam
Manusia mungkin bisa mengintervensi proses alamiah, tetapi tidak dapat memodifikasi hukum-hukumnya. Sebagaimana Rara mencoba mengintervensi hujan yang merupakan bagian dari proses alamiah.

Dalam hal ini proses intervensi Rara bukan dengan ilmu pengetahuan tetapi dengan iman. Ini menjadi kritik dan bulian banyak orang, sebab tidak rasional.

Karena dalam pemahaman manusia modern, dinamisme natural memiliki konsistensi sendiri, terlepas dari kehendak manusia. Sehingga ritual pawang hujan itu terasa janggal.

Bahwa intervensi manusia hanya mampu memproduksi entitas-entitas yang identik dengan entitas-entitas natural yang ada, bahkan yang tidak pernah ada, yang juga memiliki kesatuan struktural dan dinamika.

Yang mau dikatakan adalah intervensi menghentikan hujan itu bisa saja terjadi sejauh menggunakan metode-metode ilmu pengetahuan bukan dengan cara ritual.

Sebab dalam intervensi itu pun kita hanya bisa mendekati keserupaan, tidak benar-benar sama. Jadi, ada tingkatan atau gradus dalam yang alamiah dan yang artifisial.

Dinamisme itu akan bergerak terus menerus dan manusia tidak mampu melakukan intervensi. Intervensi manusia pun hanya bisa dengan entitas-entitas yang identik dengan entitas natural yang ada misalnya dengan melakukan pencegahan dengan menciptakan rekayasa cuaca.

Sebagaimana judul di atas, saya ingin mengakhiri tulisan dengan memberikan catatan beberapa hal. Pertama, sebagaimana manusia Indonesia adalah makhluk yang berbudaya, sejatinya kita menghargai warisan budaya nenek moyang. Kedua, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melestarikan budaya leluhur. Ketiga refleksi atas iman perlu dihidupi, sebab dengannya kita mampu menemukan sesuatu di luar diri kita yang jauh lebih berkuasa dari kita. Keempat, secanggih apa pun ilmu pengetahuan kita, kita tidak bisa melepaskan diri dari keyakinan iman, sebab ilmu pengetahuan tidak cukup menjawapi semua persoalan manusia.*


*Djanuar Lj: merupakan salah satu alumnus fakultas Filsafat di salah satu universitas di kota Surabaya, Jawa Timur. Ia, kini tinggal dan bergulat dengan bisingnya kota Jakarta.